folder Filed in IM+ESP, Thoughts
Satu Kilometer Terakhir
Edward Suhadi comment 3 Comments

 

*sebuah surat untuk seluruh teman-teman Pengajar Muda Angkatan I*

Salam sejahtera,

Apa kabar teman-teman terkasih Pengajar Muda Angkatan I? Terutama teman-teman di Halmahera Selatan? Ayu, Ajip, Jun, Adhi, Bayu, Adi, Dika, Aisy, Dani, dan Aheng?

Semoga kalian baik-baik saja. Tidak terasa sudah enam bulan sejak saya dan Francy berbagi gayung dan sendal dengan kalian di pelosok tanah air Maluku. Seperti yang kalian sudah ketahui, pengalaman saya begitu memberkati semua yang mendengarnya dan juga mereka yang sempat melihat video yang saya buat untuk TEDx Jakarta.

Sudah bulan Oktober ya? Kalau tidak salah, pengabdian kalian di tanah Maluku akan berakhir bulan November?

Saya melihat kalian ini seperti tim yang sedang dalam sebuah lomba marathon. Dan seperti banyak orang bilang, dalam lomba marathon, yang sulit itu bukan memulainya. Saat memulai, kita masih punya banyak energi, masih punya banyak mimpi. Badan masih segar, perut terisi, sepatu masih wangi. Punya banyak janji dan tekad. Segudang harapan-harapan di awang.

Bukan, yang sulit itu bukan memulai. Yang sulit itu selalu mengakhiri.

Badan sudah pegal, energi sudah habis. Kaki perih, sendi nyeri. Tumit sakit sekali. Peluh di seluruh kulit. Betis terasa panas. Napas sudah di ujung bibir. Terengah-engah. Apalagi dalam sebuah pertandingan tanpa penonton. Siapa yang peduli kalau kita berhenti dan pulang nonton televisi? Siapa yang tahu kalau kita tidak berikan yang terbaik, hentakkan kaki ke depan dengan semua yang kita punya? Tidak ada. Tidak ada yang menonton kok. Tribunnya kosong. Aku capek.

Namun, kalau kalian memicingkan mata, lihat jauh di garis finish sana, ada engkoh-engkoh gendut dengan baju biru garis-garis dan celana pendek jeans kedodoran yang sedang melambai-lambaikan tangan dengan hebohnya. Di sebelahnya ada cewek mungil, sepertinya masih anak kecil, juga melompat-lompat seperti kegirangan.

Sayup-sayup terdengar suara mereka.

“AYOOOO!!!”

“WUUUUUIIII!!”

“AYO-AYO-AYO-AYO!!!”

“HAJARRRR!!!!”

“SEDIKIT LAGI!!!”

Tiba-tiba kalian sadar bahwa mereka tidak hanya berdua, tapi ada beberapa orang yang kalian kenal juga ada di sana. Ada bapak-bapak gagah, berkulit gelap dan berambut keriting, yang sepertinya berdiri di paling depan, juga sedang heboh meneriakkan hal yang sama. Ada bapak-bapak yang berkaca-mata, rambut disisir ke samping, yang selama pelatihan selalu membangun semangat kalian. Ada ibu-ibu berkacamata dan berkerudung yang dulu selalu pergi dahulu memastikan lapangan lari kalian layak dan tidak berbahaya. Ada seorang cewek yang berkulit putih dan cantik parasnya juga dengan segenap hati berteriak-teriak menyemangati kalian. Bahkan sepertinya, semua orang yang mempersiapkan kalian untuk perlombaan ini ada di sana, lengkap dengan sang Merah Putih yang dikibar-kibarkan di atas mereka.

Dan walau dengan kaki yang lemas dan napas terengah-engah, kalau kalian masih bisa mengamati sekeliling kalian, begitu banyak teman-teman yang juga berlari bersebelahan di pertandingan ini. Memang ada yang terlihat lemas dan layu, tapi jauh lebih banyak mereka yang dengan napas-napas tersisa berteriak,

“AYO!”

“SATU KILOMETER LAGI!!!!”

Saya tidak bisa mengatakan, “Saya tahu apa yang kalian alami.” Karena memang, saya tidak tahu. Saya dan Francy hanya mengecap sedikit apa yang kalian alami di sana sebagai seorang turis, seseorang yang tidak punya tanggung-jawab apa-apa kepada siapapun juga.

Yang saya tahu, bahwa kalian, sudah begitu banyak menginspirasi berbagai generasi negeri ini. Cerita kalian banyak membuat orang malu, banyak membuat orang terbakar, banyak membuat orang berpikir, “Apa yang bisa kulakukan bagi negeri yang kupijak ini?”

Apalagi kalian, sebagai angkatan pertama, sebagai mereka yang dengan parang membuka jalan, pulangnya kalian akan ditunggu sebagai pembuktian buat banyak orang. Kalian bisa jadi pembuktian bahwa, “Ah, jangan sok-sok nasionalis lah, cinta bangsa, membuat perubahan atau buang sampah pada tempatnya, mereka-mereka ini aja keok…” Atau kalian bisa jadi pembuktian bahwa, “Jangan hilang harapan. Bangsa ini masih ada.”

Pertandingan ini penting buat banyak orang. Buat Pak Anies, Pak Hikmat, Bu Yundrie, Pak Israr, Bu Evi, mereka semua yang ada di Jalan Galuh. Mereka yang percaya bahwa ada harapan untuk perubahan, dan kalian akan jadi buktinya. Buat keluarga dan kerabat kalian, yang mendukung kalian menempuh ‘karir’ yang tidak normal ini. Saya yakin banyak orang-tua yang mempertanyakan perjalanan kalian, namun restu dan doa mereka tetap menyertai kalian.

Pertandingan ini penting buat semua anak-anak yang telah kalian taburkan benih. Benih perdamaian, benih takwa, benih kerja keras, benih rasa ingin tahu dan kejujuran, benih untuk tidak takut mengejar mimpi. Selamanya kata-kata dan teladan kalian akan jadi bagian dari hidup mereka. Saya percaya, saat mereka berumur 20, 30, 40 tahun nanti, kata-kata kalian masih terngiang dan menentukan jalan yang mereka ambil.

Pertandingan ini penting buat bangsa Indonesia. Perjalanan kalian bukan hanya untuk diri kalian sendiri, tapi akan menghiasi halaman depan koran dan majalah, linimasa twitter dan status fesbuk begitu banyak anak muda. Walau mungkin tenggelam dalam headline korupsi dan kekerasan, namun ada berita baik untuk seluruh negeri: Jangan hilang harapan, bangsa ini masih ada.

Dan terakhir, pertandingan ini penting buat diri kalian sendiri. Sebuah peringatan bahwa kita bisa menghajar kemalasan dengan tekad, kehampaan dengan mimpi, nasib dengan tangan kita sendiri.

Jadi teman-teman, akhiri pertandingan ini dengan baik. Satu bulan lagi. Masih belum terlambat. Berikan gas terakhir, tendangan terkeras, lompatan tertinggi.

Di garis finish, engkoh-engkoh ini dan istrinya sedang berteriak,

“SATU KILOMETER LAGI!!!”

*ikut bersama-sama kami, Henry dan Handry, yang meneriaki kalian juga: teman-teman di Bengkalis, Tulang Bawang Barat, Paser dan Majene.*

Comments are closed.