folder Filed in Thoughts
Manusia Berubah
Edward Suhadi comment 0 Comments

Pagi ini saya melihat di Twitter foto Pandji dan teman-teman yang telah tiba di Melbourne untuk Mesakke Bangsaku World Tour.

This guy is something. Stand-up World Tour pertama dari seorang komika Indonesia. Hebat kamu nak! Bapak betul-betul bangga.

Yang menggelitik hati saya adalah ketika mendengar kata ‘Melbourne’.

Melbourne itu spesial buat saya dan Francy. Kita honeymoon di kota ini 7 tahun lalu dan seketika jatuh cinta. Betul-betul jatuh cinta. Kotanya itu cantik sekali. Dengan gedung-gedung tua, dengan Yarra River-nya, dengan taman-tamannya, dengan pantainya di St. Kilda, dengan banyaknya musium, teater dan performing arts, dengan banyaknya cafe-cafe dan restoran yang seksi-seksi, dan dengan trem-tremnya yang selalu tiada henti hilir-mudik. Phew, so much memories.

Setelah beberapa kali trip, kita berdua sepakat: Kita akan tua dan pensiun di kota Melbourne. Kita berjanji akan mengumpulkan uang, dan secepat mungkin beli rumah di sana sehingga ketika kita tua kita bisa belanja pagi ke Queen Victoria Market, terus sarapan dan ngopi lalu jalan-jalan dengan anjing kita di tepian Yarra River. Kami bahkan sudah sempat bertanya-tanya tentang lokasi yang bagus dan cara-cara membeli rumah di sana.

Itulah mimpi kami berdua yang sangat kuat.

Saat itu.

🙂

Sekarang?

Sekarang kita sudah hampir ‘lupa’ dengan Melbourne. Dipicu terutama oleh banyaknya berita yang kita dengan tentang sikap-sikap pemerintah Australia yang kontroversial, juga berita-berita yang kita dengar tentang insiden-insiden rasialis yang semakin banyak terjadi. Mungkin bisa dimengerti bahwa di jaman kejayaan migrasi masuk ke Australia, begitu banyak imigran yang masuk, dan hal ini, sama seperti yang terjadi di Singapore, menimbulkan antipati dari penduduk lokal.

Juga tahun-tahun belakangan ini saya lebih sering berkelana di pulau-pulau Indonesia, baik itu untuk bekerja memotret atau pelesir. Saya jauh lebih mengenal tentang Indonesia yang di luar Jakarta dan juga orang-orangnya.

Gagasan untuk hidup tua dan mati di negeri sendiri buat saya sekarang jauh lebih menarik dan juga membanggakan sekaligus membahagiakan. Daripada gue dikejer-kejer dan tertekan di negeri orang, lebih baik santai dan tenang di tanah negeri sendiri.

Saat ini saya mau pensiun di Ambon. Punya perahu kecil buat pergi-pergi dive dan mancing, dan juga punya kebun singkong dan kandang bebek dan ayam. Apalagi kalau ada galeri+studio kecil buat saya mengajar foto komunitas-komunitas anak muda di sekitar.

Membaca Pandji menulis ‘Melbourne’ pagi ini mengingatkan saya akan salah satu hal penting yang saya pelajari dalam hidup ini:

Bahwa manusia itu berubah.

Terdengar sederhana memang tapi buat saya pribadi, mungkin baru dalam 5 tahun terakhir hidup saya kebenaran ini betul-betul saya pahami.

Ketika kita tidak memahami dan menerima bahwa manusia itu berubah, yang akan terjadi adalah hidup kita akan penuh dengan pertikaian dan terutama kekecewaan.

Ketika saya menerima bahwa manusia (tentunya termasuk saya) itu berubah, hal ini mengajarkan saya beberapa hal:

Bahwa jangan terlalu kaku dan ngotot dengan apa-apa yang saat ini menjadi sumber pertikaian dalam kehidupan kita. Apa yang kita begitu yakini di masa lalu, mungkin saja kita sudah lupakan hari ini, sehingga apa yang membuat kita bertengkar hari ini, mungkin sekali kita sudah lupakan besok. Hidup jadi lebih mudah buat saya.

Bahwa kecuali mereka-mereka yang memang berhati keji dan berniat mencelakakan kita, kondisi hidup dan situasi terbaru seringkali membuat bahkan mereka-mereka yang sangat menyayangi kita sekalipun untuk menyakiti dan mengecewakan kita. Manusia berubah mas. Keadaan di sekitar mereka sudah tidak sama seperti dulu. Jadi jangan terlalu drama ya. Ambil napas.

Bahwa sikap konsisten dan setia adalah sesuatu yang semakin hari semakin langka dan berharga. Jika kamu punya hal-hal ini, maka terimalah kagum saya kepadamu, karena kamu adalah manusia langka. Dan jika kamu menemukannya pada orang-orang di sekitarmu, hargai mereka betul-betul dan syukuri, karena mereka juga adalah manusia-manusia yang sudah sedikit jumlahnya.

Nah sekarang… Ada yang punya kenalan tuan tanah di Ambon?