folder Filed in Thoughts
Membuat Rasa
Edward Suhadi comment 0 Comments

Di tengah meja ada semangkuk besar nasi dan beberapa masakan yang belum tersentuh tapi sudah mulai dingin.

Francy ada di sebelah saya, di seberang meja ada Ratna dan Ce’i sedang sibuk dengan handphone mereka.

cei2

Ratna adalah seorang perempuan etnis jawa yang lahir dan besar di Ambon, sedangkan Ce’i adalah seseorang yang asli Ambon. Keduanya adalah pelayan di warung kopi Barista milik teman saya Victor, yang sedang kita tunggu kedatangannya sebelum kita bisa mulai makan malam merayakan ulang tahun saya.

“Menurut Ce’i saya itu orangnya bagaimana?”, tiba-tiba saya bertanya.

Ce’i tampak kaget.

Lanjut saya, “Iya, ini kebiasaan dari orang tua saya Ce’i. Ibu saya suka bilang: ‘Kita sering memuji orang ketika orangnya sudah di dalam tanah, ketika orangnya sudah tidak bisa dengar. Puji orang ketika dia masih hidup dan masih bisa dengar.’ Betul gak?”

*Di keluarga dan lingkaran saya kami sebut ini sebagai ‘peneguhan’ – yang pada dasarnya adalah memberikan peneguhan kepada seseorang akan hal-hal baik yang sudah dia lakukan supaya dia bisa terus berbuat hal-hal baik itu.*

Ce’i tampak gelisah, namun tampak juga dia seperti sangat ingin bisa berbicara sesuatu. Dia melihat ke kiri ke kanan, lalu melirik ke Ratna sambil tertawa tertahan.

Bayangkan Ce’i hitam manis berbicara dengan logat Ambon yang sangat kental.

“Ko Edward orangnya paling baik…” ucapnya terbata-bata. Dia terhenti. Kemudian dia lanjutkan lagi:

“Ko Edward orangnya paling baik. Beta belung (belum) pernah…” tiba-tiba dia terhenti dan air mata mulai berjatuhan. Ce’i mengambil tissue di depan kami.

“Beta sudah kerja di banya’ tempat, beta belung pernah makang (makan) sama-sama seperti ini.”

Lanjut Ce’i sambil terpotong-potong isak, sambil seperti ingin meyakinkan saya, “Eh betul. Beta kerja di mana-mana hanya dianggap sebagai pembantu.” Dia lalu menyeka airmatanya. “Tidak pernah dianggap sebagai tamang (teman), hanya pembantu. Tidak pernah diajak makang (makan) restoran. Kalau akhirnya pi makan jua (pergi makan juga) selalu di meja sandiri, seng (tidak) pernah duduk sama-sama seperti ini.”

Sambil terus menyeka air-matanya dia berkata dengan suara bergetar, “Beta seng akang (tidak akan) pernah lupa. Beta seng akang pernah lupa.”

Lalu tiba-tiba dia berdiri dan menghampiri saya setengah berlari lalu memeluk saya dan mencium saya. Di tengah-tengah restauran yang cukup mewah di Ambon, pemandangan ini cukup membuat banyak orang berpaling.

Setelah saya mengucapkan terima kasih, Ce’i kembali duduk dan lalu lanjut menunduk sambil mungkin berpikir malu, “Beta tadi biking (bikin) apa lai?”

Saya menulis cerita ini bukan untuk bercerita tentang puji-pujian kepada saya, tapi episode ‘drama pendek’ malam itu membekas di hati saya.

Saya dan Francy tidak pernah bermaksud apa-apa. Hanya bahwa saya berulang-tahun, dan saya mengajak Evy dan Victor, keluarga tempat kami menginap beserta seluruh keluarga mereka makan malam. Francy lalu sekaligus mengajak Ratna dan Ce’i yang memang selalu ada di warung kopi Barista untuk ikut makan. Buat saya, tidak ada yang spesial luar-biasa dari mengajak mereka. Tapi sesuatu yang biasa bagi saya, ternyata luar biasa untuk mereka.

Malam itu saya teringat akan sebuah perkataan yang pernah saya dengar.

It’s true for lovers, for friendships, for leaders, for customers:

“Intentions never mean anything. It is always about how you make them feel.”

“They will always forget what you said and what you did, but they will always remember how you made them feel.”

cei