folder Filed in Advertising, Work
Kaget Ketika Ketemu Mereka Yang Pegang Iklan Coca-cola
Edward Suhadi comment 6 Comments

Coca-cola, seperti Nike, dianggap sebagai salah satu puncaknya prestisius klien advertising.

Kalau sudah pegang Coca-cola, atau Nike, ya udah lah ya 🙂 Kamu sudah di atas sana jauhhh di atas kami-kami rakyat jelata ini.

Kemarin Ceritera diundang dateng ke kantor sebuah agency bueeesar. Kita sudah korespondensi beberapa kali mengenai sebuah project, dan kali ini mau tatap muka untuk ngobrol lebih lanjut.

Datanglah kami kucluk-kucluk ke lokasi kantornya yang di tengah Jakarta. Begitu masuk: disain kantornya keren dan beken. Lalu yang paling menyolok: wall-to-wall Coca-cola imagery.

“Wah, ini nih.”

“Potensi rese nih.”

Maklum.

Pengalaman sama agency besar (atau klien besar, atau vendor besar, atau apapun yang besar) itu ga enakeun.

Kamu-tau-apa-kutu-kupret kinda looks and tone of voice.

Yah, terima aja lah.

Namanya juga anak baru.

Apalagi sama mereka yang megang Coca-cola.

Lagi melamun, tiba-tiba:

“Halo-halo! Yuk masuk!”

Kaget pertama ketika bertemu si senior producer, yang selama ini email-emailan dengan kita.

Dijabat erat, ramah dan menapak bumi.

Lalu masuk seorang account manager (yang handle clients) – lalu seorang creative/writer (yang kasih ide dan nulis).

Yang mengherankan dari meeting kemarin itu: Mereka ga sungkan bertanya, dan mereka beneran mendengar.

Mereka yang sudah sering kerja dengan klien dan budget yang berlipat-lipat kali dari kerjaan yang akan kita buat.

Sebuah pertanyaan dijawab, lalu disambung pertanyaan lagi, lalu saya yang bertanya, lalu mereka yang menjawab, lalu kita semua manggut-manggut, lalu mulai lagi ada pertanyaan baru.

Sering dengar kalimat: “Menurut Mas Edward baiknya gimana?”

Ditanya bukan dengan nada ‘I have no idea whatsoever to what am I doing’ – tapi dengan nada ‘Yes, this is my passion and this is what I do excellently for a living since a very long time, but I genuinely want to hear your thoughts on this. I need to learn too.’

(Kerjaan utama saya itu ngobrol sama orang dan salah satu hobby saya itu people watching, jadi saya bisa ‘baca’ orang lumayanlah 😉 )

Tidak ada keraguan dalam nada mereka seperti, “Waduh ntar kalau gw tanya gw keliatan begok lagi…”

Diskusinya asik dan waktu berjalan tidak terasa, tiba-tiba meeting berikut mereka sudah datang.

Berkesan deh meetingnya.

Pengalaman ini bukannya membuat saya jadi mengecilkan mereka, tapi saya malahan jadi punya rasa hormat yang sangat kepada mereka.

Bukan, ini lebih dari sekedar rasa senang manusia karena didengarkan. Menurut saya lebih dari itu.

Satu hal penting yang terus menerus saya lihat dari orang-orang hebat yang saya temui di perjalanan ini: Mereka tahu kalau mereka bukan masters of the universe.

Walau jabatannya Chief Executive Officer, Chief Marketing Officer, VP of Communications, Head of Marketing, Creative Director,  jabatan-jabatan yang bunyinya udah nakutin banget, saya bisa lihat di mata veteran-veteran komunikasi ini ketika mereka tekun mendengarkan saya si kutu kupret: Mereka tahu kalau mereka bukan masters of the universe.

Mata mereka itu berkata: ‘Yes, this is my passion and this is what I do excellently for a living since a very long time, but I genuinely want to hear your thoughts on this. I need to learn too.’

Tidak ada keraguan dalam nada mereka seperti, “Waduh ntar kalau gw tanya gw keliatan begok lagi…” – Mungkin nada itu buat mereka yang masih pemula ya 🙂

Ga heran mereka dipercaya di posisi-posisi yang sangat penting.

Yang mau belajar terus, belajar banyak, bijaksana banyak, dan naik kelas banyak.

Beda dengan mereka-mereka yang ketika membuka mulut membuat saya mengerenyitkan dahi.

Ngomong apa seh mase, mase? Blas mboten ngertos aku mas.

Biasanya, mereka-mereka yang gaya, cara bicara dan dagunya sudah setinggi langit, yang paling nggak ada isinya. Itu menurut saya ya 🙂

Pernah kok saya dibentak-bentak art director masih seumur toge, diajak ngomong seakan-akan ini proyek pertama saya dan saya bodoh dan ga mengerti maksud dia.

Aku ngerti mas, maksudmu mas, tapi idemu itu menyedot mas. Sucks like a Dyson vacuum.

Perlu banyak latihan sih, buat jadi seperti mereka-mereka yang sungguhan hebat ini.

Saya sendiri masih terus belajar. Masih jauh.

Sebagai orang kreatif, orang idealis yang sering mengagungkan pendapatnya sendiri, jujur saya masih sering tersengat jika ada yang mengkoreksi ide saya.

Tapi saya selalu berusaha terus berwajah lurus, memaksa diri beneran mendengar, sambil berbicara sendiri ke dalam hati: “Iya, elu emang pinter dan emang udah punya banyak pengalaman, tapi elu harus dengar pendapat dan keahlian orang lain juga. Memangnya elu siapa? Udah yang paling jago? Udah ga perlu belajar? Udah nggak ada langit di atas elu? Udah jadi masters of the universe? Hah? HAH? Dasar sombong. Kerdil. Sempit. Ga tau malu. Tampar ya.”

😀

Sekali-kali bukalah internet dan baca, dengar, lihat portfolio mereka-mereka yang di luar sana. Jangan cuma main sosmed, tapi main ke website-website real professionals, real masters of the universe.

Kamu (saya) itu cuma setitik debu. Beneran ga pantes untuk angkat dagu. Malu-maluin 😀

Semoga kita semua selalu ingat untuk menapak bumi, dan jadi seperti mereka-mereka yang pegang iklan Coca-cola tadi.

When I one day handle Coca-cola or Nike, I’ll always remember you Ma’am. Thank you for being an inspiration.

Kalau nggak: Tampar ya.

Edward

– – – – – – – – –

PS: Saya akhiri dengan salah satu kutipan favorit saya. Dari film American Gangster.

  1. Pak Edward,

    Seneng deh baca tulisannya Bapak.
    Makasih ya sdh sharing.
    Nice! 🙂

  2. Kok ngena banget ya… :p
    persis koyo sing tak rasakne mas…

    Thanks tulisannya
    mantab jaya

Comments are closed.