folder Filed in Life
Jangan Pindah, Tetangga.
Edward Suhadi comment 46 Comments

Saya sering bolak-balik ke Pulau Ambon.

Punya teman yang sudah seperti saudara di sana. Hampir tahu semua nama daerah. Hampir sudah menyelami seluruh pesisir yang mengelilinginya. Saya jatuh cinta dengan pulau itu dan untuk sekarang, berniat untuk pensiun di sana. Punya kulit keriput kakek-kakek yang asin tertiup angin laut.

Ada tradisi yang terkenal di pulau itu namanya pela gandong, yaitu ketika kampung-kampung yang bersebelahan menganggap satu sama lain saudara, biasanya yang berbeda agamanya. Ini jadi suatu kebanggaan yang sangat. Persatuan jadi kuat.

Tapi sayangnya semuanya itu koyak oleh dahsyatnya konflik beragama pada tahun 1999. Kita semua tahu ceritanya lah. Betul-betul sebuah peperangan dengan kebiadaban dari kedua kubu.

Penduduk yang berbeda-beda agamanya ini, yang dahulu tinggal bersebelahan dan bertetangga, mulai saling meninggalkan rumahnya. Rumah-rumah dan kapling tanah dijual kepada mereka yang beragama sama dengan kebanyakan orang di lingkungan itu.

Orang-orang Ambon yang saya tanya selalu berkata bahwa warisan terpahit dari konflik di tanah mereka itu adalah lingkungan hidup yang kini tersegregasi (terkotak-kotak). Sekarang ada kantong pemukiman wilayah tempat tinggal muslim, dan ada kantong pemukiman wilayah tempat tinggal kristen, dan ada garis-garis perbatasan. Orang-orang tidak hidup bercampur lagi. Yang berbeda berhenti jadi tetangga.

Buruknya dari segregasi ini adalah, sekarang konflik lebih mudah terpicu dan terpantik, dan juga pengalaman hidup bersama bertetangga yang bisa memupuk persatuan dan toleransi jadi jauh berkurang.

Saya tidak bilang bahwa sekarang situasi di Ambon rentan konflik (saya yang kristen ke sana setahun 1-2 kali, nyilem di mana-mana termasuk di pesisir-pesisir daerah muslim, aman damai kok) – tapi hanya mengatakan bahwa inilah keadaan ‘warisan’ yang terjadi sekarang ini.

Pilkada Jakarta kali ini membelah kita memang.

Teman main, teman kerja, anggota keluarga, tetangga rumah, dan terutama di dunia sosmed, banyak yang terkoyak-koyak. Melukai, mengutuk, mencaci.

Perang kita. Walau tentu masih jauh dibandingkan konflik Ambon, tapi kita termasuk perang habis-habisan. Dengan hardikan dan sindiran, baik yang terucap ludah maupun dengan ketikan keyboard.

Saya ada dalam satu grup besar WA yang isinya adalah banyak sekali para penggiat dan tokoh-tokoh pendidikan yang membantu ketika Mas Anies menjabat Mendikbud.

Ketika pilkada dimulai semakin lama terlihat jelas bahwa kita-kita yang di dalam sana punya pilihan yang berbeda.

Waktu mulai sering terjadi gesekan di dalam sana, hati lembut anti-konflik saya ini maunya left group aja.

Simpel. Beres. Nggak makan ati.

Tapi ingatan tentang Ambon yang kini tersegregasi itu selalu menguatkan saya untuk tetap ada di dalam.

Jikalau kita, orang-orang yang di dalam grup itu yang katanya orang terdidik dan dewasa dan berpengaruh, mulai left group dan saling menjauh dan terputus, maka bayangkan akibatnya ke bawah kepada mereka-mereka yang memperhatikan kita, mereka-mereka yang masih belia, masih belum terdidik dan belum dewasa.

Ketika pagi ini suasana kembali memanas, Pandji yang ada di dalam grup itu, juga mengucapkan hal yang sama. “Kalau kita yang di sini aja baper-baperan, gimana anak-anak muda yang jadi pemilih pemula? Kalau setiap pemilu selesai kita tidak bisa melupakan perbedaan kita, kita akan hancur sebagai bangsa.”

Setuju saya.

Dan sekarang, yah, pagi kini sudah menjadi sore.

Ketika sekarang sudah jelas siapa yang menang dan kalah dalam pilkada ini, tapi kita tetap memutuskan menjual rumah-rumah kita dan kapling-kapling kita supaya kita tidak bertetanggaan lagi, maka yang tersisa nantinya adalah Jakarta, dan (bukannya tidak mungkin) akhirnya Indonesia yang tersegregasi.

Indonesia yang jarang merasa bertetanggaan lagi dengan mereka yang berbeda. Indonesia yang rakyatnya terputus dan hanya dengar pendapat yang sama dan lihat perbedaan hanya dari kejauhan.

Indonesia yang jauh lebih mudah dipecah-belah, Indonesia yang akan lebih mudah terpicu konflik, sama seperti di Ambon.

Percayalah, sama seperti banyak kalian, rasa sakit saya dan kekecewaan saya dan keinginan saya untuk pergi saja dan membenci dari jauh itu juga sangat besar. Seperti kamu, ada seribu satu hal yang ingin saya teriakkan juga. Manusiawi kok.

Tapi semoga, semoga bukan keputusan itu yang kita pilih.

Semoga gambar Ambon yang kini terpisah-pisah cukup kuat sehingga kita akan berjuang sekuat tenaga kita supaya Indonesia kita tidak akan mengalami hal yang sama.

Ketika hal-hal mendasar seperti kemanusiaan dan saling menghormati masih kita pegang bersama, mari belajar hidup dalam perbedaan.

Tetap berdekatan dan tetap bertetanggaan. Sering lihat, sering dengar. Tidak asing dengan yang berbeda dan berkubu hanya dengan yang sama.

Buat yang menang janganlah jumawa. Okelah boleh jumawa tapi bentar aja ya 🙂 Kalian menang. Tidak ada yang perlu dibuktikan lagi. Kalian menang. Ayo kami tunggu janji-janji kalian.

Buat yang kalah, ijinkan saya bagikan satu pengetahuan yang sangat membantu saya setiap saya sedih dan kecewa:

Tahap kesedihan (grief) itu ada 5,
dimulai dari tidak mau percaya (denial),
lalu marah (anger),
lalu menawar (bargaining),
lalu depresi (depression),
sampai akhirnya menerima (acceptance).

Pada akhirnya, semua orang akan sampai acceptance, walaupun ada mereka yang membutuhkan waktu sampai puluhan tahun. Tapi semakin dewasa seseorang, sampai di acceptance-nya semakin cepet.

Seperti Pak Ahok Djarot tuh, sudah ‘mengaku’ kalah di konpres (sambil menunggu hasil resmi KPU).

“Kekuasaan itu Tuhan yang kasih, Tuhan juga yang ambil, jadi ga usah gimana-gimana banget lah…” kata dia sambil ketawa-ketawa. Langsung ke acceptance dia.

Semoga kita juga cepat dewasa, sehingga kerjaan kita nggak nyinyir terus, cuma mangkrak di tahap denial.

Jangan jadi pahit. Kita kalah. Yang sudah terjadi, semua-semua-semuanya, sudah lewat.

Sambil tetap kritis, berilah sangka baik dan waktu dan juga dukungan untuk mereka yang menang.

Saya suka pernyataan Bernie Sanders, tokoh populer partai Demokrat lawannya Trump, ketika Trump dinyatakan menang setelah kampanye yang juga sangat keras:

“To the degree that Mr. Trump is serious about pursuing policies that improve the lives of working families in this country, I and other progressives are prepared to work with him. To the degree that he pursues racist, sexist, xenophobic and anti-environment policies, we will vigorously oppose him.”

“Sewaktu Mr. Trump serius mengusahakan kebijakan-kebijakan yang memperbaiki hidup kelas menengah, saya dan teman-teman siap untk bekerja sama dengan dia. Sewaktu dia mengusahakan kebijakan-kebijakan yang rasis, seksis, mendiskriminasi, dan membahayakan lingkungan, saya akan dengan sekuat tenaga melawan dia.”

Harusnya memang begitu. Dukung dan kritik berjalan berdampingan.

Despite everything that has been said and done, I still have faith in Mas Anies. Apalagi mendengar pidato-pidato kemenangan yang barusan disiarkan live. Janji pekerjaan pertama yang terus dia utarakan adalah mengembalikan persatuan setelah kampanye yang sangat membelah kita ini.

We’ll see.

Mari kita saling memaafkan, dan melihat ke depan. Semoga cinta kita akan negeri ini dan masa depan-nya untuk anak-anak kita, jauh lebih besar dari hasrat untuk terus saling membenci.

Sampai kapanpun juga, kita yang berbeda-beda etnis, agama, dan pandangan politik ini, kita akan selalu merasa tanah yang kita pijak ini tanah milik kita.

Kita akan selalu bertetangga.

Pintaku sore ini, untuk para tetanggaku: jangan kalian jual rumah kalian, dan jangan pindah jauh dari saya.

  1. *nangis* ada kepikiran ide itu koh, krn rasa takut dan seakan hilang harapan, takut krn ‘Cina’ dan ‘kafir’ itu beserta kebencian. Hilang harapan krn legitimasi bukti bahwa kaum keturunan spt kita sungguh diterima, sirna, pupus sudah. Jadi, ya, sedih dan sedikit takut.

  2. Sangat sedih, saya mmg cina dan kristen tp bukan krn sama dengan pak ahok jd saya dukung. Br pd jaman pak ahok lah sayaa yg org luar jkt peduli dan ikut cemas kl jkt banjir, br jaman pak ahok percaya merasa memiliki sebuah kota bernama jakarta. Dan akhir nya saya menerima hasil ini cm satu yg tak akan bisa terima adalah berharap tidak pernah mendengar nama pandji lagi.he5

  3. Well said ko edward. Pak Ahok aja ud legowo kita pun yang mendukungnya juga harus bisa seperti beliau. Pidato kemenangan Pak anies juga menunjukkan beliau ga se”tega” itu membuat perpecahan di DKI tapi ketika yg di belakangnya mulai nyeletuk yg aneh dan tertawa terbahak2 itulah yg harus diawasi bersama.

  4. Lawan sekuat tenaga jika pemimpin yg menang melakukan hal yg Salah.

    Pertanyaan Saya… Mereka memang bisa dilawan?
    Jgn2 pendukungnya Jg sebenernya tutup Mata…
    ?

  5. Ketika kalah sudah sepantasnya mengaku kalah dan berlapang dada. Ketika menang sudah pasti tak perlu jumawa. Tapi luka yg ada akibat menidakpantaskan seseorang menduduki jabatan publik hanya karena tidak memiliki asal usul primordial yg sama, rasanya sulit utk diobati.

    Semua pihak yg terlibat perlu tau, kalau itu sudah terjadi, namun luka tetap ada. Permintaan maaf pun tak ada, kalaupun ada tetap tak berguna. Yg ada, cara sama akan terus digunakan utk memecah belah.

    Perselisihan kali ini sungguh bukan sekedar hardikan, cacian, atau sindiran di media sosial. Tapi menyangkut rasa nyaman utk hidup bersama dalam keberagaman. Tenun kebangsaan sungguh sudah terkoyak, itu fakta.

    Saya ingat ajakan untuk meningkatkan partisipasi pada pemilu presiden 2014 lalu. Kita diajak turun tangan dan diingatkan kalau orang baik kalah karena kita berdiam. Pada pilkada DKI kali ini, saya melihat justru orang itulah yang berdiam. Membiarkan tenun kebangsaan itu terkoyak dan menikmati efek samping utk dirinya sendiri. Sebagai anggota masyarakat, kita bisa percaya siapa lagi?

    1. Sepertinya sih Jokowi memilih untuk berdiam diri karena tahu dirinya lagi diincar, sebab kalau dia bela Ahok, belum tentu Ahok selamat tapi malah dia bisa ikutan jatuh.

      1. Jujur udah mulai merasa gk ada artinya lagi Indonesia. Hal seperti pilgub dimulai dari pilpres 2014 pasti akan makin besar di 2019. Keberagaman kalo saya pikir sudah hancur. Gk ada kebanggaan lagi jadi warga negara Indonesia.
        Generasi mendatang, sebaiknya mulai dididik dan berkembang di negara maju dan jangan lihat ke belakang lagi (jadi ingat cerita sodom & gomora). Jangan pernah kembali. Sama seperti keinginan setiap orang tua, tidak masalah apapun yang orang tua alami asal anak selamat dan bahagia ?

  6. Saya selalu bertanya kenapa ya ada ketakutan yang luar biasa pada teman2 yang berbeda pandangan politik.
    Kenapa selalu dikaitkan dengan penindasan minoritas saat mayoritas berkuasa. Seakan2 selama ini saat pemimpin berasal dari mayoritas, yang minoritas jadi terbelenggu kemerdekaannya.
    Apakah ada tanda2 kampanye Anies dan Sandi yang mengarah kepada perpecahan?
    Kenapa teman2 selalu mengusung persatuan, kebhinekaan, dan yang lain2, seakan2 Anies dan Sandi tidak peduli hal demikian.
    Padahal Anies punya tenun kebangsaan.
    Kenapa teman2 tidak bisa menerima kenyataan bahwa bukan minoritas yang kami permasalahkan.
    Yang kami permasalahkan cuma satu orang yg mencabik kebhinekaan.
    He’s crossing the line.
    Disrespect invites disrespect.
    Kengerian akan menjamurnya disrespect tergambar pada kasus Steven dan Gubernur NTB.
    Seumur hidup saya bersahabat dengan pemeluk agama lain, tidak pernah sekalipun saya singgung kitab suci mereka, atau mengumpat mereka dalam kata2 kasar.
    Karena kami dari kecil diajarkan toleransi kepada umat agama lain.
    Tak bisakah teman2 melihat hal tersebut?
    Kekaguman saya pada seseorang langsung luntur saat dia crossing the line…
    So ini bukan masalah perbedaan atau kebhinekaan atau minoritas mayoritas.
    Ini cuma masalah satu orang
    As simple as that.
    That’s all

    1. @chairil.
      Mas perhatikan ga pada saat demo pertama ke Monas tidak ada spanduk “ganyang C**a”, pada saat demo ke Monas yang kedua sudah ada satu dua spanduk demikian, pada saat demo yang ketiga spanduk demikian sudah makin banyak.

      .Setuju Mas apabila ini hanya masalah satu orang, tetapi kemudian ini merembet ke golongan kemudian ke suku dan ras.

      Seperti komentar saya dibawah bahwa mahluk yang disebut “SARA” itu sudah keluar dari kandangnya, bosa ga dia dikandangkan kembali.

      1. @Idian Mansjur
        Demo apa yang anda maksud ganyang C*na?…apakah demo yang dimaksud adalah menuntut ahok untuk segera diproses keputusan sidangnya?? Apakah anda bisa membuktikannya?? Maaf, semua peserta aksi 212 dan seterusnya…tidak mempermasalahkan keturunan cina tapi masalah penista agama…dan sampai sekarang pun keputusan itu belum dilakukan.

        Saya mohon agar tidak mudah teprovokasi…yang mengkotak2an bukan dari kubu anis sandi…oleh karenanya kita juga memakai seragam putih bukan kotak2

        Karena ga ada jera hukum yang tegas, maka setelah ahok menistakan agama berapa banyak juga penista2 lainnya yang menampang di media sosial dengan leluasa…

        1. Buat anda dan beberapa yang dewasa lain mungkin begitu. Tapi saya tahu pasti, buat akar rumput ini sudah menjurus sara. Saya bergabung di grup WA yang memang isinya pendukung ASA, dalam sehari entah berapa sering saya membaca sentimen dan curiga mereka pada etnis china (gaakk..gak akan saya sensor karena memang gitu adanya). Sampe bawa² singapura dan disuruh ambil pelajaran dari singapura.

          Dan anda bilang minoritas gak terbelenggu kemerdekaannya saat mayoritas berkuasa? Coba rasakan jadi minoritas di jaman orba dulu. If you never experienced that, or at least asking about that to people who did experience it, better just shut up.

        2. Apakah bisa diproses orang yg berkali-kali menistakan agama lain selain mayoritas? Apakah boleh kami marah kalau simbol-simbol agama diinjak-injak? Apakah boleh kami marah bila suku & ras dihina oleh mayoritas? Apakah kami boleh bilang ganyang mayoritas karena dengan mudahnya mayoritas ingin membunuh kami? Bagaimana kalian mayoritas melihat rohingya tapi melakukan hal yg sama ke minoritas? Salahkah bila di kemudian hari, minoritas meminta untuk bebas dari mayoritas?

        3. @Nurjannah firnasari
          Bu, saya ralat sedikit ya. Saya tidak pernah tulis demo ganyang C**a lho.

          Yang saya tulis adalah saya mengamati bahwa pada saat demo-demo awal tentang peninstaan agama tidak terlihat kata-kata “ganyang cina” di spanduk pendemo, tetapi makin kemari kata-kata “ganyang cina” sudah bermunculan.
          Ini tidak perlu saya buktikan Bu, Ibu bisa google di internet dengan mudah. Coba Ibu bandingkan foto-foto spanduk pada saat awal demo penistaan agama kemudian bandingkan dengan spanduk demo 212 dan seterusnya. Pada saat awal isi spanduk adalah “tangkap”, “penjarakan” dsb, tetapi makin kesini isi spanduk selain “tangkap” dan “penjarakan” tulisan “ganyang cina” bermunculan.

          Itulah yang saya maksud dari permasalahan dengan satu orang kemudian merembet ke golongan kemudian ke suku dan ras.

          Semoga penjelasan saya ini bisa menjawab.

    2. Halo, maaf kalau saya boleh menambahkan atau menanyakan. Kalau dari komentar saudara sepertinya sekonyong2 tidak ada angin dan tidak ada hujan , Ahok berkomentar bawa2 ayat agama saudara, padahal kenyataannya adalah, dia bisa berkomentar soal ayat tersebut karena ayat tersebut sudah dipakai dan dipakai untuk menjegal dia dalam berpolitik. Dan itu adalah fakta.

      Fakta yang sulit diterima mungkin, tapi pada kenyataannya memang possible, bahwa agama dan ayat suci dipergunakan oleh seseorang atau sekelompok orang hanya untuk kepentingan mereka saja, dengan niat yang tentunya tidak suci.

      Saya terus terang heran kenapa orang2 tidak melihat san meng acknowledge hal tsb, sedang sangat berusaha melihat sudut pandang tsb tapi tetap saya tidak paham.

      Semoga pembicaraan ini masih bisa di lahan yang adem ?
      Selamat pagi.

  7. Take a bow for ahok acceptance & for ur opinion, yg perlu kita pertanyakan adalah, ini bkn pilkada terakhir di negara ini, klo yg terakhir, gw bsa direct ke level acceptance, pilkada ini malah jdi titik awal para dedengkot yg haus darah habis2an dgn cara sekasar apapun demi meraih kemenangan, coba mari kita diskusikan bgmn menyikapi para fundamentalis ini? 44 kecamatan di DKI, petahana yg siang malam bekerja menjadi jongos cm kebagian 6 kecamatan, bukan sesuatu lelucon yg bsa bikin kita mudah utk ketawa dan menerimanya bgtu sja. How to beat that images my brader? Its not simple just like that, kita yg blm bsa nrima disini, gw yakin bkn krn ahok kalah, tpi byk calon2 spt ahok bakal gugur satu persatu hanya karena beda SARA, lalu kita dipaksa utk nrimo aja, kemunafikan mmg polemik bangsa ini masbro, dan gw ga suka pro kemunafikan krn mrk teman2 gw…….itu posisi gw

    1. Setuju, memang Jakarta ini kota SARA..kalo dipimpin oleh leader yg SARA juga (spt ditunjukkan dlm pidatonya di tmpt2 ibadah), habislah yg diluar muslim….Buat saya Moral value is the 1st and most important part of a leader. Skill bisa dipelajari, Moral value ngak bisa diubah..kalo korup ya korup, kalo SARA ya pasti SARA..Dan AB tidak punya kedua2nya as a leader..Bole taruhan, tunggu aja 1 th..

    2. Yg masih mau menikmati kekayaan & kekuasaan di Indonesia, cukup ucapkan beberapa kalimat saja. Gk ada cara lain.
      Buat generasi muda, lebih baik gunakan potensimu di tempat lain. Sudah percuma di Indonesia. Baru kampanye aja udah masif didikan ke anak2 soal kafir, apalagi 5 th kedepan ditambah nanti presidennya sesama mereka.
      Kalau bisa, selamatkan juga generasi pendahulumu tapi sebaiknya generasi muda yg lebih dulu selamat & meraih kebebasan ??

  8. Saya bertemu AB 2kali dan saya sempat tertegun dan terkesan, menyimak dan berdiskusi. Yang kemudian terjadi lepas Mendik, singkat kata, perdebatan dalam pilkada membuat saya terhenyak, perlukah plintiran, kebohongan dan keberpihakan itu diucapkan hanya untuk memenangkan perdebatan. Adakah dia kini akan menyesali kebohongan kebodohan sendiri andai kata dia tahu bahwa kemenangan kini baginya? Bukan soal menang kalah bagi saya tetapi soal trust dan ini mahal karena menyangkut pendidikan yang kita tinggalkan kepada rakyat kepada saya. Saya, individu yang pasti tidak akan lagi bisa dan mau percaya kepada AB, ini amat sangat pasti!!

  9. Mahluk yg namanya “SARA” itu sudah dikeluarkan dari kandangnya dan sudah makan korban di pilkada, sekarang pertanyaannya sanggupkah mahluk itu dikandangkan kembali ?

    1. Butuh figur yang kuat,terutama dari tokoh agama seperti NU dan dukungan pemerintah yang serius untuk menyelesaikan hal ini,seperti Bapak Gusdur,kalau beliau masih hidup,mungkin gak ada yang kayak gini atau mungkin hal ini bisa diminimalkan karena beliau punya pemahaman agama dan politik sangat luas,keberanian beliau juga patut diapresiasi.
      Saya takutnya hal ini berlanjut bukan cuma di DKI saja,tapi di daerah lain yang mengadakan pilkada karena sekaraang di jabar,ridwan kamil mulai diserang dengan isu SARA lagi.kasihan negara ini kalau isu SARA menghalangi orang2 yang mempunyai kemampuan dan berkeinginan mengabdi kepada negara untuk menangani permasalahan dserah

  10. Salahnya ahok cma di kurangnya rasa empati, gampang emosi, kurang stabil, yg ujung”nya minta maaf, minta maaf, minta maaf, sya dlu yakin bgt klo ahok bkal menang satu putaran, sebelum kasus kep.seribu, tapi emg udh jalannya, si ahok lidahnya kepleset ngmongin surat Al-maidah, yg buat muslim kya gw ga perlu di omongin, jga gw bkal mlih ahok, karena kinerja jga gw salut , jualan kinerja jga udh ckup, gk ush bwa” sentimen agama, tp lagi” ahok mesti belajar, bhwa modal benar saja tidak ckup untuk jd pemimpin, attitude jga sangat” perlu, jd koh, ini tuh bkan klah krna agama yahh,,,,,,,

    1. Pengadilan yang berjalan telah membuktikan lewat saksi-saksi ahli dan saksi-saksi fakta bahwa Pak Basuki tidak bersalah!! Masalah ini tergulir besar karena (1) fatwa yang dikeluarkan oleh MUI setelah 2 hari telepon dari SBY dan tanpa tabayun kepada yang bersangkutan dan tanpa rapat yang lengkap dalam MUI sendiri (quote Kiai Ahmad Ishomuddin et.al.) (2) sentimen agama kemudian massiv dikembangkan setiap Jumat dikhotbahkan seperti diperintahkan untuk tidak menshalatkan mayat, memilih pemimpin kafir haram bagi umat Islam dan konsekwensinya di akhirat. (3) Begitu banyak tindakan yang memuliakan umat Islam dilakukan dengan nyata oleh petahana, belum pernah dilakukan oleh gubernur2 sebelumnya.

      1. duh say.. kamu udah seberapa banyak mengerti ayat qur’an? seberapa banyak bedah kitab yang lainnya? kalo cuma mau baca dan dengar apa yang mau kamu dengar yah selamanya kamu akan buta.

        1. @1234 seharusnya pertanyaan seperti itu untuk diri sendiri, tidak perlu mempertanyakam orang lain sudah berapa banyak kitab yg di bedah

  11. Tapi saya tetap nggak nyaman temenan lagi sama orang yg punya prinsip pilih pemimpin hrs yg seiman, yg menganggap minoritas gak boleh jadi pemimpinnya kaum mayoritas. Saya nggak akan menyimpan benci, tp saya memilih menjauh dr temen itu. Apa boleh buat? Saya nggak mau munafik dg tetap temenan sama org2 itu sementara hati saya bilang tidak

    1. Mari kita buktikan kaum minoritas. Kerja keras kerja keras. dan kerja keras. Di indonesia tdk perlu jujur yg penting satu agama.

  12. Pilkada DKI kali ini berbeda… kenapa kok bikin sampe baperan ya? Mungkin ada alasannya, biasanya pilkada ga sampe begitu kok. Mungkin karena yang kemarin warga Jakarta hadapin itu lebih besar dari sekedar Pilkada.

  13. Menurut saya, terlalu naif untuk mengharapkan Anies akan bisa menyatukan lagi perpecahan ini. Radikalisme dan sentimen-sentimen agama, seburuk apapun itu, terbukti menguntungkan dia. Anies tau itu, dan dia memilih untuk membiarkannya. Jika semua orang berpikiran toleran, saya yakin Ahok akan menang. Pilkada akan ada lagi, jika pemikiran radikalisme dan intoleran terbukti menguntungkannya, untuk apa dia harus capek-capek memperbaikinya?

    “Itu perbuatan licik!” kamu bilang. ya, Anies memang licik, terimalah fakta itu.

  14. Kenyataan sjk dahulu kala: negeri2 adat d Maluku dgn komunitas agama mmg trpisah, smisal ada nama negeri yg sama, d bedain namanya sesuai agama yg d anut a.l. Sirisori Salam (Islam) n Sirisori Sarani (Nasrani) dmkn jg juga dgn yg kota, biarpun bgtu kami ttp hidup rukun dgn kemajemukn. Tks pak ulasannya

  15. Masih sedih dan membayangkan pelayan masyarakat minoritas seperti saya apakah akan diperhitungkan seperti jaman Jokowi&Ahok krn saya mengalami sendiri walaupun melalui candaan untuk pindah keyakinan… Sayang Pak Ahok Pak Djarot g dikasih kesempatan lg meneruskan perjuangan yg blm selesai, pdhl banyak sekali perubahan yg dialami baik SDM, pembangunan, pelayanan dll yg bikin salut jg walaupun Petahana tp pegawainya tdk diintervensi memilih Beliau. Apa mau dikata larut dlm kesedihan dan ketakutan pun g bikin keadaan lebih baik, yakin dan percaya rancangan Tuhan yg terbaik bagi umatNya.. Kita berkehendak tp Tuhan jg yg tentukan. Harus tetap semangat menjadi pelayan masyarakat

  16. Pilkada kali ini bikin banyak pihak baper, karena kalau semua orang mau jujur ke hati masing2 tanpa melihat perbedaan SARA, berapa banyak pemimpin yang bisa berkarya seperti Ahok? Belum sempurna memang, tapi kalau ada ranking untuk pemimpin daerah, saya yakin beliau masuk top 10%.
    Sangat sayang bila talenta seperti itu terkubur isu primordial. Bahkan sampai sidang hari ini, banyak kelompok yang masih belum puas menuntut si ‘penista agama’. Lucu dan miris, kalau saja energi yang sama dikerahkan untuk penista kejujuran, penista uang rakyat, dan banyak penista-penista lainnya, bangsa ini akan jadi bangsa yang lebih keren.
    Sayangnya, sepertinya itu mimpi yang masih jauh.

  17. I was always pessimistic about politics and corruption in Indonesia sampai kira-kira tiga tahun yang lalu. Saat itu bermunculan tokoh-tokoh yang mulai terjun ke kancah politik; bukan sebagai politisi tapi mengajak masyarakat untuk peduli akan politik di Indonesia. Untuk turut berbuat sesuatu dan berkarya untuk Bangsa Indonesia tercinta. Ada Pandji dengan “Nasional.is.me”, Ada Pak Anies dengan gerakan Indonesia Mengajar, ada anak-anak muda seperti Edward yang mulai menyumbangkan karya untuk bangsa ini. I began to be optimistic about Indonesia, khususnya dalam pemberantasan korupsi, optimis infrastruktur akan membaik, optimis bahwa pendidikan tidak hanya menjadi privilege buat yang mampu tetapi menjadi hak buat semua warga. Ironically, belakangan ini orang yang sama membuat rasa optimis saya hilang.

    You might think I am “Baper”. Mungkin sedikit, tetapi saya pikir Anies/Sandi won’t be that bad, Jakarta akan baik baik saja, kita warga Jakarta akan tetap hidup. Apakah mereka akan membiarkan pendukungnya minta jatah/korupsi, we’ll see about that.
    Tidak, my deepest regret bukan Ahok kalah dalam pilkada, he’ll do just fine. Kekecewaan saya terbesar ada pada Pak Anies dan Pandji, karena mereka tidak walk the talk, at least saat kampanye, I don’t see the integrity, they don’t stand in what they belief for.

    Sorry Edward, my comment is irrelevant dengan tulisanmu.
    The hell with pilkada, The hell pemilu, this might be my last voting for the longest time.

    1. I feel you bro. For me, it’s like, just when I thought we’re finally breaking out of this bad cycle… our own demon willed and pulled us right back in.

      Of course things will be just fine and comfortable as it’s always been… nobody wants to break that cycle. People hate changes.

    2. Dan oportunis besar2an, kebohongan secara terang2an, integrity yang berantakan, inconsistencies yang gila2an.. Kok bisa mereka masih mendukung yang seperti itu ya? ???

  18. Sedih dan putus Asa dengan bangsa ini. Ternyata dunia memang belum pantas menerima orang benar. Makanya Trump menang, dan kini Jakarta mengalami nasib yang sama. Saya bukan mendukung Ahok karena dia cina dan Kristen. Buktinya saya sangat mendukung Jokowi yang Jawa dan Muslim. Tapi saya melihat sendiri kemajuan yang dibawa oleh seorang Ahok. Dan untuk pertama kali nya saya bisa bermimpi bahwa Jakarta akan bisa bersaing dengan Singapore, Malaysia dan menjadi Bintang di Asia tenggara. Saya ingin bisa bangga ketika di Tanya “where are you from?”. Tapi semua impian tersebut pupus diganti kepasrahan bahwa selamanya orang baik dan benar akan ditindas, bahwa percuma untuk memperjuangkan negeri ini karena toh ga akan dihargai. Apalagi klo minority… Lupakan rasa kebanggaan sebagai warga negara, toh darah minority itu halal untuk ditumpahkan (berdasarkan demo berjilid2 dan beberapa tragedi sebelumnya). Ditambah lagi comment teman-teman dari berbagai belahan dunia “what’s wrong with you guys, how come you let that great man go while many people around the world wish to have him?” dan saya hanya bisa tertunduk sedih..
    Buat yang menyangkal bahwa demo berjilid2 itu tidak ada spanduk Sara dan gayang cina, dan untuk yang menolak bahwa banyak Ahokers yang ditekan… Coba untuk membuka mata dan telinga, hal tersebut sudah sangat gamblang dan terang2an, jadi tolong ga perlu sangkal lagi..

  19. apple vs samsung, fanboy vs hater..
    wake up.. pilkada sudah selesai..
    jika petahana memang sedemikian hebat, maka dia harus membuktikan di kancah pilkada lainnya, atau kancah internasional (seperti sri mulyani, dll)..
    peace

  20. Tulisan yg bagus saudaraku Edward.

    Buat saudara-saudaraku yang lain, baik pendukung pak Anies-Sandi maupun pak Ahok-Djarot, mari kita sudahi segala perbedaan dan sakit hati di antara kita. Perbedaan akan selalu ada diantara kita, karena memang kita diciptakan dengan natur, lingkungan maupun pendidikan yang berbeda. Tapi kita adalah satu, yaitu BANGSA INDONESIA.
    Mari kita buang jauh-jauh konsep mayoritas-minoritas, katakanlah semua saudara-saudara kita. Mari mulai dari diri kita sendiri. Kalau semua orang mau mengubah dirinya masing-masing, niscaya pengaruh yg baik ini akan menular.
    Saya percaya manusia bisa berubah, (Baca: Tuhan bisa mengubah hati manusia) sejelek atau serusak apapun.

    Mari kita mendukung pak Anies-Sandi. Berikan kesempatan pada beliau. Jangan beri kritikan apabila dilandasi hati yg dendam dan tidak suka. Tapi berikan kritikan,apabila dilandasi hati yg mengasihi. Tutup mulut dan tidak perlu menulis apa-apa, apabila perkataan dan tulisan kita hanya untuk menyatakan ketidak-senangan kita atau mencari-cari kesalahan. Tapi katakanlah dan tulislah dengan penuh keberanian, apabila itu benar dan membangun. Negara kita perlu suara dan tulisan orang-orang yang tulus, jujur, dan mencintai kebenaran. Tidak perlu patah hati karena kekalahan di pilkada. Kebenaran yang sejati tidak pernah kalah. Ketidak-benaran suatu ketika akan tunduk dan menyerah pada kebenaran, karena kebenaran adalah milik Tuhan. Dan Tuhan tidak akan berhenti dan berdiam diri sampai kebenaran yang diinginkanNya terwujud. Bukan itu saja, Tuhan selalu memakai ketidak-benaran yang dilakukan manusia untuk mewujudkan maksud dan rencanaNya pada waktu yang Tuhan tetapkan sendiri.

  21. Ed, I could not agree more with you.
    But I had to put my foot down this morning. I had to leave a WhatsApp group. At least for a while.
    A have a limit sampe batas mana gue bisa ladenin atau nyuekin mulut orang. Tapi ada beberapa kata yang menurut gue ga layak dikeluarkan di sebuah grup keluarga. Keluarga lho Ed. Walaupun itu ngomong tentang orang lain, secara prinsip nilai, gue ga bisa terima. Terpaksa gue keluar. Ibarat kata gue liburan dulu deh ke luar kota. Ntar balik lagi.
    Sedih lho Ed. Sedih.

  22. as always nice writing and inspired. Belum bisa move on dari hasil pilkada DKI Jakarta. Just pray for better Jakarta in the future. God bless us.

Comments are closed.