folder Filed in Life
Corongmu Untuk Dunia
Edward Suhadi comment 3 Comments

Akhir tahun 2018 kemarin, kantor saya mendapatkan sebuah proyek penting dari salah satu brand terbesar di Indonesia.

Ga disangka kita akan menang pitch. Waktu itu sikap saya melihat proyek ini sebagai penanda aja. Jika saya menang, memang saya harus kerja. Jika tidak, ya saya bisa liburan seperti kebanyakan orang 🙂

Konsepnya asik, budgetnya menarik, kliennya percaya dan mau coba. What more could you ask for?

Mendekati waktu shooting, dengan waktu persiapan yang sangat-sangat mepet, tekanan mulai muncul.

Sebetulnya tidak ada yang mengejutkan. A thousand moving components in a thousand outside variables we cannot control, trying to satisfy a hundred people including myself. That’s what a big project always looks like.

Tekanan memuncak H-2. Pressure cooker. Bersyukur bahwa memang karena team yang solid dan klien yang supportif, satu per satu masalah ini mulai terurai.

Pagi-pagi H-1, sambil seduh kopi, ketika otak ini sudah bisa rileks sedikit, di kepala saya terlintas satu kalimat yang sering saya ucapkan:

“Every project is your microphone to the world.”

Terjemahan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah:

“Setiap pekerjaan adalah kesempatan kamu untuk bicara ke seluruh dunia.”

Maksud saya begini.

Saya sering memvisualisasikan bahwa setiap proyek adalah sebuah panggung seperti di Gedung Kesenian Jakarta, dengan sebuah microphone ajaib yang terpasang di sebuah kaki, lengkap dengan lampu sorot dari depan.

Hening ruangan yang penuh sesak dengan penonton pecah oleh bunyi derit lantai kayu yang diinjak jatuh kaki saya memasuki panggung.

Ketika saya sampai di depan corong microphone, dan setelah mengambil napas panjang,

penampilan apa yang akan saya suguhkan?

Kita sering melihat bahwa sebuah proyek adalah sebuah pekerjaan yang sangat berpotensi menjadi sangat buruk. Ini didorong oleh mekanisme perlindungan diri di otak kita sejak jaman purbakala dikejar-kejar macan: Ada bahaya di mana-mana, hati-hati. (Ini serius. Google the word ‘amygdala’).

Makanya yang selalu terbayang-bayang di kepala kita adalah hal-hal buruk. Buruk-buruk-buruk. Parah-parah-parah.

Dalam setiap proyek yang memang punya potensi untuk jadi hancur luluh-lantak, saya sering memaksa dan mengingatkan otak purbakala saya ini untuk juga berpikir kemungkinan yang satunya lagi: Proyeknya bisa saja sukses luar biasa bagus.

Bahwa di balik segala sesuatu yang belum terjadi, selain ada kemungkinan buruk, selalu ada juga kemungkinan baik.

Ketika sesuatu belum terjadi, dia belum baik atau buruk.

Dia masih menjadi suatu kondisi yang namanya: Kesempatan.

Sering kali kata ini terlalu sering diucap, sering diucapkan dalam iklan-iklan (“Raih kesempatanmu!”) dan seminar-seminar motivator (“Ini kesempatanmu bung!”), sehingga bobot dan beratnya kerapkali menjadi biasa. Bunyinya menjadi sesuatu yang terdengar sambil lalu.

Padahal, ini adalah kata yang, luar biasa.

Kesempatan, adalah sebuah kondisi ketika sesuatu bisa jadi baik, atau dia bisa jadi buruk.

Tapi dia masih di persimpangan. Belum terjadi.

Saya selalu membayangkan diri saya di setiap proyek yang sedang saya kerjakan, sebagai seseorang yang sedang berdiri di depan microphone itu.

Proyek ini bisa saja lewat begitu aja. Diberi tepuk tangan secukupnya karena penontonnya sopan.

Atau, proyek ini bisa jadi sesuatu yang memukau, diingat, dan membuat dampak. Baik buat klien, maupun buat buat karir, usaha, dan hidup saya.

Sebetulnya, panggung ini bukan hanya bicara mengenai project. Tapi hampir semua bagian hidup kita yang saat ini bisa dibilang adalah kesempatan-kesempatan.

Pekerjaanmu di kantor? Apakah kamu lihat dia hanya sebagai tempat mengambil gaji, atau kamu lihat dia sebagai sebuah panggung kesempatan untuk belajar menambah kapasitas diri, membangun karir yang membanggakan, merajut pertemanan yang akan berlangsung seumur hidup?

Proyek-proyek yang sekarang menjadi tanggung-jawabmu? Apakah kamu lihat dia hanya sebagai sebuah tugas yang harus dikerjakan karena disuruh oleh bos? Atau kamu lihat dia sebagai kesempatan kamu mengambil resiko, memberikan yang terbaik, dan menunjukkan bahwa kamu bisa dipercayakan proyek dan tanggung-jawab yang lebih besar?

Keluargamu di rumah? Apakah kamu lihat dia hanya sebagai hanya sesuatu yang merupakan tahap kehidupan seseorang, atau sebagai sebuah panggung kesempatan untuk meninggalkan legacy yang akan terus berlanjut turun temurun, untuk membangun sebuah hubungan suami istri yang penuh dengan bahagia, atau untuk menjadi keluarga yang menjadi berkat buat mereka yang ada di sekitarmu?

Biasanya orang menunggu diberi panggung. Menggerutu karena kesempatan ‘besar’ itu tidak datang-datang.

“Kalau saja aku dipercayakan proyek besar yang dilihat banyak orang itu, pasti aku akan mati-matian buat bagus.”

“Kalau saja aku diterima kerja dengan posisi keren di perusahaan startup bergengsi itu, pasti aku akan kerja bersemangat dan buat setiap hari kerjaku penuh dengan dampak.”

🙂

Perhatikan gerakan bibir saya ini pelan-pelan: “Orang yang bilang bahwa dia akan lakukan sesuatu ‘nanti jika’, sudah pasti tidak akan melakukannya kalau ‘sekarang walaupun’ tidak dia lakukan.”

Layangkan pandang ke mereka-mereka yang kamu kagumi dalam hidup. Bener ga perkataan om?

Musuh terbesar yang timbul ketika kita berdiri di depan microphone itu adalah lagu yang judulnya: Asalkaga.

Asalkaga diomelin bos.

Asalkaga ditegur manajemen.

Asalkaga dikomplein klien.

Asalkaga proyeknya berantakan.

Asalkaga berantem sama istri.

Asalkaga ngeganggu orang.

Jadi walaupun kesempatan itu sudah terpampang nyata di depan batang hidung kita, dan kita sebetulnya bisa, paling tidak mencoba sebaik kita untuk menyanyikan lagu ‘Keren Banget Kami Ga Sangka Ternyata Kamu Siap Untuk Babak Yang Berikutnya’, seringkali, jauh lebih sering dari yang seharusnya, memilih untuk menyanyikan lagu: ‘Asalkaga’.

“Asaaal… kagaaaaa….. Ehm. Terima kasih.”

Plok… plok… plok… Lalu bunyi satu dua batuk di dalam kegelapan.

Sayang bro.

Lewat gitu aja.

Setiap proyek dan peran di tangan kamu adalah corongmu untuk dunia.

Kesempatan itu muncul dalam setiap tanggung-jawab yang dipercayakan kepada kamu,

dan datang bertubi setiap hari setiap jam dalam setiap perbuatan yang dalam kuasa kamu untuk menentukan hasil akhirnya.

Sekarang pilihan di tangan kamu: Kamu mau nyanyi lagu apa?

Lalu Ward, proyek elu yang di awal cerita gimana? Belom kelar nih ceritanya.

Oh iya 🙂

Walaupun melewati proses panjang yang melelahkan dan menguras tenaga dan emosi, saya bertekat untuk bernyanyi bagus.

“Ini bukan asalkaga. Ini kesempatan.”

Dan malam itu, ketika karya kami diputar di depan ribuan tamu dan mereka yang membangun aplikasi ini serta di depan Bapak Presiden:

Rasanya, susah diceritakan 🙂 Yang pasti hasilnya baik buat klien saya, hasilnya baik buat kantor saya, dan hasilnya baik buat diri saya. 

Sekali lagi.

Setiap pekerjaan dan peran adalah kesempatanmu untuk bernyanyi.

Dunia sedang menahan napas menantikan mulutmu terbuka.

Lagu apa yang akan kamu nyanyikan?


*Edward Suhadi adalah creative director Ceritera, sebuah storytelling agency di Jakarta.

*Hasil kesempatan saya ini bisa ditonton di sini

Comments are closed.