folder Filed in Life, Work
Adonan Ibu
Edward Suhadi comment 5 Comments

Setiap selasa di kantor Ceritera ada kebiasaan berkumpul bersama yang kami beri nama Tuesday Talk. Semua orang duduk melingkar, dari office director hingga office boy, saling bercerita dan berpendapat.

Topiknya bisa beragam, mulai dari jenis-jenis cabe, riwayat hidup, sampai dengan tentang saling mendukung ketika keadaan perusahaan sedang sulit.

New tip: Sekarang di blog ini kamu bisa menselect kalimat mana yang kamu suka dan akan ada pop-up tools mudah untuk post di Facebook atau Twitter kamu. Coba deh.

Dimulai beberapa tahun lalu, Tuesday Talk ini seringkali diadakan rajin, tapi seringkali juga kendor. Minggu kemarin ini adalah minggu awal kita mulai rajin lagi, dan karena Ceritera juga sedang gencar menambah personil, kita punya beberapa orang baru yang duduk di lingkaran ini.

Ketika mereka diberikan kesempatan untuk satu-satu maju dan memperkenalkan diri mereka, ada satu perkataan yang selalu terucap:

Di Ceritera culturenya kental.

Kata ‘budaya’ mungkin bukan padanan yang cocok, karena itu saya gunakan bahasa inggrisnya, karena ‘culture’ di perusahaan itu lebih dari sekedar budaya, tapi tata-cara, tutur kata, gaya kepemimpinan, rasa hubungan antara orang-orang yang bekerja di dalamnya.

Culture yang terus saya dengar kemarin itu (dan juga konsisten sejak dulu waktu Ceritera masih namanya lain):

Anak-anaknya asik.
No office politics.
Saling membantu walau bukan kerjaannya.
Bisa becanda, tapi kalau kerja serius.
Makan melulu.
Tidak diawasi/dikendalikan, semua dianggap sudah dewasa.
Saling percaya, saling bisa mengandalkan.
Melulu makan.
Diberi kepercayaan dan saling percaya.
Diberi ruang untuk berbuat salah.
Dan yang paling sering saya dengar: Kekeluargaan.

Walaupun saya sudah mendengar hal ini sudah berulang kali, tapi kali ini ada satu anak baru yang membuat saya jadi berpikir lebih. Sebut saja namanya M.

M ini sebelumnya bekerja di beberapa agency/production house juga. Orangnya terlihat cerdas, tau banyak, juga banyak berpikir dan banyak mengamati. Berbeda dengan anak-anak baru yang biasanya lugu, dia lebih banyak diam dan ‘membentengi diri’ di minggu-minggu pertama di Ceritera.

Ketika dia sudah masuk kerja kira-kira seminggu, saya iseng bertanya, “Gimana M, suka ga di Ceritera?” Ketika biasanya anak-anak baru langsung menjawab, “Enak ko, anak-anaknya asik,” kali ini dia cuma tersenyum diam menatap saya, seakan-akan berkata, “Ya elu aja pikir sendiri…”

Rese juga nih anak, gumam saya dalam hati.

Tapi di bulan terakhir dia di sini (ketika post ini dipublish dia tepat 2 bulan bekerja di sini) – saya senang melihat dia sudah menurunkan bentengnya. Lepas. Dan sudah menjadi betul-betul salah satu dari kami.

Karena itulah di Tuesday Talk kemarin dia berkata, “Di sini berbeda dengan perusahaan-perusahaan tempat saya bekerja sebelumnya.” Lalu dia mengucapkan banyak kalimat-kalimat seperti di atas, dan sama juga seperti banyak yang lain, M merasa ‘kekeluargaan’ adalah yang paling kuat.

‘Benteng’ atau ‘waktu jeda’ M merangkul culture di Ceritera membuat saya jadi lebih sadar akan proses pembauran atau peleburan ini.

Saya jadi ingat sebuah fakta yang cukup menarik yang saya tahu dari buku Dee Lestari, Madre.

Bahwa ternyata di banyak toko roti artisan (handmade/traditionally made) di seluruh dunia, ada yang namanya mother dough (adonan ibu, hence the title: Madre = bahasa spanyol untuk ibu).

Jadi mother dough ini adalah tepung yang diberi air, (kadang diberi perasa/ciri khas masing-masing toko roti, misalnya madu), diaduk, lalu dibuat meragi (ferment) dengan proses tertentu selama berhari-hari. Ketika jadi, adonan ini disimpan sebagai ‘biang’.

Ketika toko roti ini akan membuat adonan baru untuk dijadikan roti untuk jualan mereka, sebagian mother dough ini diambil untuk dicampur tepung dan bahan-bahan lain. Rasio mother dough dan bahan barunya berapa saya tidak tahu persis, tapi intinya untuk setiap batch adonan, akan ada sedikit dari mother dough di dalamnya.

Para artisan baker ini sangat percaya bahwa sedikit dari mother dough ini membuat perbedaan yang sangat besar untuk tekstur dan rasa, dibanding dengan menggunakan peragi instant dalam sachet.

Lah kalau begitu, lama-lama mother doughnya habis dong?

Now this is the amazing part.

Setiap kali mother dough ini diambil, harus ada sebuah proses untuk menambahkan bahan baru ke dalamnya, sehingga mother dough ini selalu ‘berkembang biak’ dan intinya, tidak akan pernah habis. It’s a living, breathing thing. (In a way it is since it is all living, breathing bacteria that cause the fermentation.)

Beberapa toko roti sudah punya mother dough yang berusia puluhan tahun. Salah satu yang tertua yang saya tahu dari sedikit mencari di internet, ada di toko roti artisan Boudin di San Fransisco, yang mengklaim bahwa mother dough mereka sudah berusia 160 tahun.

Entah kenapa ketika kemarin mendengarkan M bicara, yang terlintas di kepala saya adalah bahwa culture di sebuah perusahaan mirip dengan si mother dough ini.

Memang yang akan saya tulis di bawah, sepertinya, bukan pengetahuan baru. Tapi paling tidak buat saya, membandingkannya dengan sebuah mother dough, saya bisa melihat lebih jelas dan gamblang tentang bagaimana culture menyebar dan melipat-gandakan dirinya, terutama dalam sebuah tempat kerja.

Dalam sebuah perusahaan (atau komunitas) akan selalu terjadi orang lama akan keluar, dan akan selalu terjadi orang baru akan masuk.

Jikalau perusahaan kamu pimpin punya culture yang kuat, entah itu culture yang baik atau buruk, setiap orang baru yang masuk pasti akan menjadi bagian dari adonan yang sekarang, dan setiap orang lama yang keluar pasti akan mempengaruhi adonan berikutnya.

Mungkin gak sih adonan baru ini yang akan mempengaruhi si mother dough? Mungkin saja, tapi waktunya akan lama, dan butuh jumlah yang banyak.

Yang lebih mungkin terjadi tentunya si adonan baru akan tertelan dan menjadi bagian culture yang lama.

Jikalau perusahaan kamu punya culture positif yang kuat, dalam sekejap, dia akan ‘menelan’ adonan baru yang dicampurkan ke dalamnya.

Sayangnya, jika perusahaan kamu punya culture kuat yang ternyata negatif, dalam kejap yang sama, dia akan melumat si adonan baru.

Terlintas beberapa cerita dengar dari anak-anak baru.

Ada yang selama ini stress dan tertekan di tempat kerja lamanya, karena kerja bos-nya marah-marah dan selalu curiga dengan anak buahnya.

Atau misalnya anak lain yang, walaupun dulu bekerja di sebuah perusahaan nasional yang sangat terkenal, merasa tertekan hingga ke arah depresi karena culture di sana semua orang mementingkan dirinya sendiri dan saling menusuk dari belakang.

Melihat diri mereka-mereka yang bercerita ini sekarang, saya yakin ketika mereka masuk di lingkungan kerja yang dulu itu, mereka seperti si adonan baru. Polos, slighty positif dan optimis, seperti si adonan baru, dan lebih diam memperhatikan sekeliling mereka.

Nah ketika mengalami diaduk dengan mother dough yang pahit, mereka yang tawar (dan sebetulnya punya potensi yang sama untuk menjadi manis), akhirnya tentu menjadi pahit juga. Pasti ada saat-saat ketika di kepala mereka terdengar suara, “Ohh, di sini begitu mainnya ya. Okeh deh I get it now.”

Di lingkungan yang isinya individu-individu yang mementingkan diri sendiri tentunya tidak ada cara lain untuk bertahan kecuali juga mendahulukan kepentingan diri sendirinya dulu. Mereka berbaur, bersatu, berubah, tanpa mereka sadari.

Sebagai bagian dari sebuah perusahaan, baik kamu bos, head, senior, ataupun masih junior, rookie, rakyat jelata, apa yang kamu lakukan, ucapkan, dan biarkan berkembang-biak, akan selalu menular dan teraduk bersama teman-teman polos yang baru bergabung.

Jika tempatmu mother doughnya pahit, ya mungkin sudah saatnya kalian berubah (mungkin saya akan menulis spesifik tentang membangun culture in the workplace)

Jika tempatmu mother doughnya manis, jangan lupa untuk selalu memelihara culture kalian. Mother dough-mother dough di artisan bakery tadi harus berkala diperbaharui, harus terus dirawat dan ‘dihidupkan’ – jika tidak, sama seperti semua mahluk hidup, dia akan mati.

Saya mau tutup tulisan ini dengan cerita berikut:

A group of scientists placed five monkeys in a cage, and in the middle, a ladder with bananas on top.

Every time a monkey went up the ladder, the scientists soaked the rest of the monkeys with cold water.

After a while, every time a monkey would start up the ladder, the others would pull it down and beat it up.

After a time, no monkey would dare try climbing the ladder, no matter how great the temptation.

The scientists then decided to replace one of the monkeys. The first thing this new monkey did was start to climb the ladder. Immediately, the others pulled him down and beat him up.

After several beatings, the new monkey learned never to go up the ladder, even though there was no evident reason not to, aside from the beatings.

The second monkey was substituted and the same occurred. The first monkey participated in the beating of the second monkey. A third monkey was changed and the same was repeated. The fourth monkey was changed, resulting in the same, before the fifth was finally replaced as well.

What was left was a group of five monkeys that – without ever having received a cold shower – continued to beat up any monkey who attempted to climb the ladder.

If it was possible to ask the monkeys why they beat up on all those who attempted to climb the ladder, their most likely answer would be “I don’t know. It’s just how things are done around here.”


– – – – – –
Edward Suhadi adalah bagian dari Ceritera, sebuah storytelling agency yang membuat video dan cerita untuk brand Anda.

  1. Selasa is my cell group..udah mati cukup lama…by God grace this april or may akan dihidupkan kembali…..because i got new vanue to do it….ngk perlu di cafe yg brisik lagi….thank u oh Lord..

  2. Sedih juga menyadari lingkungan kerja yg ga asik…cenderung cari aman dan cari untung… Dan karena sadar bakal terpengaruh, selain juga ga bisa keluar… Jadinya harus ekstra tenaga untuk juga memengaruhi dan ekstra awas spy ga terperosok. Olala… mother dough..

  3. Thank ko Edward buat tulisan nya?, saya lagi memulai sebuah start up tanpa background seorang entrepreneur, masih belajar culture apa yang tepat untuk di bangun, karena orang orang yang dalam satu Tim adalah orang yang belum lama di kenal, jd jalan nya kerjaan belum sesuai harapan.

    Tp lewat tulisan ini jadi ngerti pengaruh dari sebuah culture. Thanks Ko 🙂

  4. as always, nice writing and inspiring. I always get the idea ko Edward.
    dulu saya pernah bergabung disebuah NGO lokal dengan beban kerja yg berat, tapi karena lingkungannya guyub alias kekeluargaannya cukup kental, beban tugas yg berat bisa terasa ringan. Hubungan dengan bos juga seperti partner kerja selevel. Kami bisa curhat dan berkeluh kesah meskipun kadang kami bisa iseng 🙂
    setelah keluar dr organisasi tersebut, para alumni (begitu kami menyebutnya) tetap keep in touch meskipun dan selalu bercerita ttg bagaimana kami saat bekerja di organisasi tersebut.

    Budaya tempat kerja mungkin bisa diambil idenya dengan budaya untuk pribadi masing-masing, sehingga orang betah berada bersama kita.

Comments are closed.