folder Filed in Thoughts
A different kind of post
Edward Suhadi comment 2 Comments

Hello all,

Sorry I haven’t had the time to write you guys a worthy entry, just that ‘Tukang Sayur’ thingie a while ago, hahaha… That was written from my phone on 5 am with sleep deprivation. I had so much to pour into the keyboards, but I lacked the mood and the time 🙁

Do you guys know that I love to write? I don’t write here always, I also write a lotta reflections and contemplations (talk about your typical romantic photographer) hahahaha… Usually it’s for my church family, we keep a mailing list to exchange experiences and encouragements.

I know I am playing with fire here, posting my ‘other side’ to my professional blog (“You see that guy over there, he writes holy stuff but I see him sleeping while the pastor is preaching, what a hypocrate!”-kinda fire, hahahaha…. ) But since I owe it to you guys to post something that’s worthy of your time, I think I’ll pass this one.

Be advised, since these are my personal views and beliefs, do not be offended if they don’t aligned with yours. I just hope we can learn something together here 🙂 I am not at all perfect or holy, that’s why I even write about these stuff. Here goes:

Hai teman2,

Banyak dari kita sering tidak menyadari jawaban doa kita sewaktu kita
menerimanya. Baik yang karena ‘kelupaan’, atau kita menerima jawaban
doa itu sebagai, yahh… ‘sesuatu yang memang akan terjadi.’ Setuju?
Berdoa supaya besok tidak hujan, dan ketika memang besok tidak hujan,
kita berpikir, “Ah, memang tidak hujan koq?” Berdoa supaya bisa lulus
sidang, ketika kita memang diumumkan lulus, “ah, emang belajar koq,
dosennya juga dapet yang baik.” Dan masih banyak contoh lagi, apalagi
kita berdoa sudah dalam waktu yang lama.

Saya rasa kita semua, pasti pernah berucap doa, “Jadikanlah kami
berkat ke mana pun kami pergi” ; “Biar hidup kami menjadi berkat bagi
sekeliling kami” Atau, “Berkatilah kami supaya kami juga menjadi
berkat buat orang lain.” Blessed to be a blessing, bahasa Jawanya.
Sering sekali deh pasti orang percaya berdoa seperti ini. Di doa
pagi, di ulang tahun, di altar keluarga, di komsel, saya sendiri
menyelipkan kalimat tersebut di dalam janji pernikahan saya.

Tidak bisa dipungkiri, manusia memang baru sempurna/utuh/whole,
apabila hidupnya adalah bagian dari kehidupan orang lain. Banyak
penelitian psikologis menemukan bahwa yang membahagiakan manusia
bukanlah uang banyak, kekayaan bertumpuk2, istri yang superhot,
kekuasaan yang tinggi, pencapaian selangit, and all that jazz; tetapi
mengetahui bahwa hidupnya adalah bagian penting dari hidup orang
lain. Ketika saya sendiri membayangkan diri saya di ranjang kematian
saya, sebelom take off bertemu pencipta saya, saya rasa saya akan
mendapatkan ketenangan jika saya ingat kalau saya sudah hidup bukan
hanya untuk diri saya sendiri. Well, masih jauh nih perjuangannya
sampai ke situ. Perlu diingat, bahwa berkat itu bukan tentang uang
aja. Waktu, perhatian, usaha, belas kasih, harapan, many-many things
much more valuable than just money. Menurut saya jauh lebih berharga
orang menjadi berkat dalam kekurangannya daripada kelimpahannya.

But you know what? Being a blessing is not easy.

It’s not easy, because if you want to be a blessing, you need to put
people’s needs over yours.
It’s not easy, because you can’t always keep what you earn.
It’s not easy, because it will put another responsibility in your
already full hands.
It’s not easy, because you will definetely fight your flesh.
It’s not easy, because people will always come to you if they needed
some hope.
It’s not easy, because you need to put your ego aside.
It’s not easy, because people will see you clearly in that high
position.

Ketika belakangan saya letih dan lelah, sebagian besar karena hal-hal
tersebut di atas, saya tiba-tiba diingatkan tentang hal ini. Seakan-
akan mendengar Bapa berkata,
“Lho? Kamu kan katanya mau jadi berkat? Sering sekali Aku mendengar
engkau berdoa tentang hal ini. Sejak bertahun-tahun lalu. Juga
sewaktu engkau berjanji di depan-Ku ketika engkau menikah.
Nah, inilah saatnya anak-Ku….”

Saya sewaktu pertama kali diingatkan akan hal ini seperti shok,
apalagi ingat sudah berapa puluh, atau mungkin ratus kali saya
mengucapkan atau didoakan doa ini. Uh-oh. Namun di lain pihak saya
juga mendapat ketenangan, ketenangan bahwa semua hal yang terjadi
pada saya, walaupun sepertinya acak dan bertubi2, adalah jawaban dari
doa saya sendiri, dan Bapa tidak mungkin memberikan ular kepada anak-
Nya yang meminta roti.

So teman-teman, setiap kali kita akan mengucapkan kata-kata: “Jadikan
kami berkat kemanapun kami pergi” – pastikan kita sudah siap jika Ia
menjawabnya.

Saya percaya bahwa di saat-saat sulit, itulah saat-saat kita
mempunyai kesempatan untuk menjadi ‘berkat untuk sekeliling kita.’

“Inilah saatnya…”, kata-Nya.

Be blessed, so you can bless others,
Edward

Comments are closed.