Salah satu klasifikasi manusia yang paling populer adalah: mereka yang gampang tersinggung dan yang tidak.
Kita semua pasti punya teman/kolega yang demikian.
Yang kalau ngomong sama dia harus hati-hati banget.
Yang ga boleh ketinggalan diajak kalau kita mau pergi hangout.
Yang musti dijelasin bener-bener supaya nggak salah tangkep.
Yang bikin kita kepikiran terus kalau kita nggak sengaja salah ngomong.
Yang musti diduluin kalau nggak dia ngambek.
Hayooo mulai membayangkan wajahnya ya? 🙂
Berada di sekitar mereka selalu melelahkan. Berteman akhirnya karena ga enakeun. Bekerja sama akhirnya karena terpaksa. Diajak pergi akhirnya karena sungkan.
Belum lagi kalau ada keadaan pelik. Ada situasi yang tidak enak. Semua orang akhirnya mengalah supaya si gampang tersinggung ini nggak… well… tersinggung. 🙂
Capek ya.
Tolong jangan jadi orang itu.
Ingat bahwa kalau kamu menyenangkan dan dewasa, siapapun akan senang berteman dan bekerja-sama dengan kamu. Soalnya sedikit orang yang demikian.
Ingat bahwa dunia ini tidak berputar di sekelilingmu. Kamu bukan matahari. Matahari aja itu muterin bimasakti, bwek.
Ingat bahwa kalau satu orang nggak cocok dengan kamu, itu biasa. Tapi ketika 10 orang berkata kamu tidak menyenangkan, mungkin saatnya menerima masukan.
Bukan, tulisan ini tujuannya bukan memojokkan.
Tapi hampir selalu, orang yang gampang tersinggung dibiarkan terus begitu aja oleh orang-orang di sekelilingnya dan bukannya diajak bicara langsung.
Ya, mereka nggak akan pernah berubah.
Sulit memang ya rasanya, memulai pembicaraan itu: “Boleh nggak gua ngomong terus terang? Elu itu sering nyebelin. Gampang banget tersinggung/ngambek/marah. Bikin susah kita dan teman-teman.”
Boro-boro, ward. Mau buka mulut aja udah males.
Tapi, seperti kata pepatah yang saya suka: “Real friends are willing to intrude.” Teman sejati itu mau/berkenan untuk ikut campur. Walau banyak resikonya (dibenci, berantem, disebelin, dibilang sok, dan masih banyak lagi).
Saya adalah orang yang sangat banyak berubah. Dulu saya sangat amat anti-konfrontasi. People pleaser. Ga bisa kalau ada orang ga suka sama saya. Susah tidur.
Tapi bertahun latihan dan memperbaiki diri, saya tahu itu bukan sikap yang benar. Apalagi saya banyak dipercayakan memimpin.
Jadi saya belajar, memberi teguran dan masukan. Walau nggak nyaman dan dengan seribu suara di kepala “Elu ngapainnnn sihh? Udah ga usah lahh…”
But real friends are willing to intrude.
So if I consider them friends, I will always intrude if needed.
Hampir selalu, si orang yang gampang tersinggung ini, ketika saya kasih masukan ngomong blak-blakan, mulutnya menganga. Kaget. Baru pernah mungkin ada orang yang berani ngomong begini ke dia.
Kuncinya satu sih: Kasih masukan untuk membangun, bukan untuk menjatuhkan. Bahasa kerennya: Kasih. Karena kita peduli, bukan karena kita lebih hebat dari dia.
Kalau semangat itu benar di hati kita, bahasa lidah dan bahasa tubuh kita akan merefleksikan itu.
And love is a powerful thing man. Masuk deh pasti.
Banyak sekali akhirnya orang-orang ini menulis email ke saya bahwa mereka pertama kali kaget, namun mereka berterima-kasih karena tidak pernah ada yang mengatakan yang sejujurnya ke mereka. Pernah ada yang malah marahin temen-temen saya yang lain di depan saya karena selama ini mereka ga pernah bilang apa-apa dan malahan menggerutu di belakang mereka. That person end up respecting me so much, padahal saya itu marah-marahin dia!
If you do it right, your input/critics will be valued highly, and the other guy will end up starting a journey to be a better self. Thanks for that someone who is willing to intrude.
Dulu, di jaman saya aktif berorganisasi di komunitas, tersinggung-tersinggung ini udah makanan sehari-hari. Kayak minum obat lah, tiga kali sehari. Banyak mereka yang, seperti saya tulis di atas, harus diajak ngomong berhati-hati, handle with care, dan harus didahulukan.
Tapi ada satu genk terdekat saya, yang dewasa dan bisa diajak bicara. Yang selalu ngalah. Suatu hari ada suatu kejadian (saya lupa detil persisnya) yang mengharuskan beberapa orang untuk mengalah, seorang teman saya ini bilang, “Udah kita lah yang ngalah. Nggak usah ribet.” Lalu dia bilang, “Kita yang apa aja.”
That stuck with me.
Kita yang apa aja: Yang dapet makanan apa aja, yang disuruh duduk di mana aja, yang di antrian berapa aja, yang nggak diajak waktu kapan aja, yang diperlakukan bagaimana aja.
Bukan karena kita nrimo. Tapi karena ya, karena kita dewasa.
Sejak hari itu, saya seakan-akan mengenakan jaket genk tidak kasat mata yang di punggungnya dibordir tulisan “Genk Apa Aja.” Sebutan teman saya itu nempel hingga hari ini.
“Gue nggak boleh bikin malu genk gua nih. Ayo dong bersikap yang sesuai.”
. . .
Mau ikutan ga?
Masuknya susah, tapi makin banyak yang gabung genk ini, dunia akan semakin indah.
Saya masih banyak nih jaketnya.
Saya mau satu ya jaketnya! 😉
Words! Blessed my day. Please don’t stop sharing ko Edward 🙂
mantep banget mas. Kebetulan saya sedang pada fase ngalami itu mas. Saya udah coba cari kemana-mana jaket yang kaya ginian, eh nemunya disini. Makasih mas, Salam kenal mas Edward, saya Gilang 🙂
What an article!
Short, straight at the point.
Mirip James Altucher udah.
Muantep.